Rabu, 14 Maret 2012

Carut Marut Hukum di Indonesia Dalam Sorotan

       Pemerintahan SBY jilid 2 dalam dua bulan terakhir ini sedang mengalami goncangan dengan issue skandal KPK-Polri yang sering disebut sebagai “cicak versus buaya”. Masyarakat pun terbelah menyikapi krisis ini, pada satu sisi yaitu: institusi kepolisian sendiri, Kejakgung, dan beberapa politisi di Komisi III DPR, sedangkan di sisi lain adalah: KOMPAK, jaringan facebooker, beberapa media, dan gerakan mahasiswa. Perlu dicatat bahwa Komisi III DPR dianggap bagian dari pendukung kepolisian karena sikapnya yang tercantum dalam kesimpulan rapat dengar pendapat antara Polri dan Anggota Komisi III.


Salah satu isi dari kesimpulannya adalah mendukung Kapolri untuk meneruskan kasus Bibit-Candra. Sedangkan Presiden SBY tak jelas pendapatnya karena mungkin kasus ini dianggapnya sebagai kasus sepele dan berbeda dengan kasus insiden monas antara FPI dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), yang mana Presiden langsung esok harinya mengecam tindakan FPI.
Kita tidak tahu akan kemana kasus ini akan bermuara. Saling tuding dengan berbagai bukti antara dua kubu ini telah dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa ada yang salah dengan sistem hukum kita beserta penerapannya. Hal ini mungkin bisa disederhanakan dalam satu kalimat : krisis hukum dan kepemimpinan.
S  Hukum dalam berbagai pespektif
Hukum adalah alat untuk merekaya sosial didalam masyarakat. Hukum dibuat untuk mengatur hubungan antara individu, masyarakat dan penguasa beserta para aparaturnya. Biasanya produk hukum sangat bergantung sekali terhadap ideologi, politik, sejarah dan sosial suatu budaya masyarakat dimana hukum itu berlaku. Namun terkadang bisa saja hal sebaliknya yang terjadi, (seperti dikatakan oleh Pound bahwa hukum adalah alat untuk merekaya masyarakat) yaitu produk hukumlah yang mempengaruhi ideologi, politik dan sosial budaya sebuah masyarakat. Hal inilah yang biasa disebut sebagai pembuatan hukum secara topdown.
Dalam hal ini biasanya penguasalah yang lebih banyak menentukan produk hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Sehingga ideologi dan kepentingan penguasalah yang banyak muncul dalam produk hukum tersebut. Penguasa dan aparaturnyalah yang mampu mengutak-atik hukum sehingga pada akhirnya penguasa itulah sumber segala sumber hukum itu sendiri.
S  Hukum di Indonesia
Indonesia ketika memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa ini tidaklah sepenuhnya bebas dari penjajahan. Dari sisi politik kita mungkin sepenuhnya merdeka dari penguasaan politk Belanda, namun dari sisi hukum hal ini tidak berlaku. hal ini dikarenakan sejak merdeka sampai sekarang produk hukum kita terutama KUH Pidana dan KUH Perdata, KUH Dagang masih merupakan warisan kolonial Belanda. Ada sekitar 400 produk hukum warisan Belanda yang masih berlaku di Indonesia yang semuanya dikarenakan bangsa kita belum mampu atau penguasanya belum mau mengubah produk hukum sesuai dengan alam pemikiran bangsa kita (Mahfud MD, Konplikasi Penegakkan Hukum Kita, 2006).
Mungkin dikarenakan aturan hukum itu secara implisit sangat menguntungkan para pemegang kekuasaan. Sehingga pada gilirannya penerapan hukum kolonial itu mempengaruhi perilaku penguasa dalam menghadapi rakyatnya dalam artian penguasa menjadi bersikap layaknya penjajah terhadap rakyatnya. Hal ini bisa dipahami karena menurut Pound hukum itu pada akhirnya akan mempengaruhi idelogi dan sosial budaya suatu masyarakat.
Dalam sejarahnya para penguasa di Indonesia memang tercatat acap kali menindas rakyatnya apalagi yang berseberangan dengan pemikirannya. Ketika Soekarno menjadi presiden, beliau berubah dari seorang pejuang nasionalis demokrat menjadi komunis-diktator. Perilakunya ini mulai terlihat sejak diberlakukannya konsep demokrasi terpimpin. Kebijakannya membubarkan konstituante hasil pemilu 1955, mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, membentuk DPRGR, MPRS berdasarkan pilihannya, membubarkan partai Masyumi dan PSI tanpa alasan yang kuat telah menunjukkan bahwa watak penjajah telah begitu kuat menguasai alam pikiran presiden RI pertama. Bahkan M.Natsir ketua Masyumi dalam siaran radionya dengan tegas menyatakan bahwa Soekarno adalah diktator, “ Selama masih ada kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan, kalau partai dikubur, demokrasipun otomatis akan terkubur, dan di atas kuburan ini hanya diktatorlah yang memerintah.”
Gaya kepemimpinan ala Fir’aun yang menyatakan, “saya adalah rabb kamu yang tertinggi”, telah menimbulkan gejolak dan krisis hukum didalam masyarakat Indonesia. melalui formula Nasakom masyarakat terutama umat Islam terbelah menjadi pro dan kontra Nasakom. NU disatu sisi ikut dalam parade Nasakom, sedangkan Masyumi di sisi lain keluar dari parade Nasakom. NU berpendapat bahwa keikutsertaan dalam Nasakom merupakan penerapan dari kaidah pesantren “apa yang tidak bisa didapatkan 100 %, jangan kau tinggalkan 100%”. Selain itu NU juga tampaknya mengincar kedudukan politik tertentu yaitu pos Departemen Agama.
Demi kedudukan dan kekuasaan NU terkadang melangkah terlalu jauh yaitu pemberian gelar “waliyul amri ad-dharuri bisy syaukah” kepada Soekarno. Dengan pemberian gelar ini NU menempatkan Soekarno sebagai pimpinan yang wajib ditaati karena dia adalah pimpinan yang jujur sekaligus muslim yang taat. Sedangkan yang menentangnya adalah bughat (pemberontak) yang wajib dibasmi.
Tokoh-tokoh Islam banyak yang mengecam tindak-tanduk NU yang sepertinya sudah menjadi stempel politik Soekarno dalam menguatkan arogansi kekuasaan ala Fir’aun dan menumpas politik Islam. Dengan istilah ini pemerintahan Soekarno berhasil memperalat kenaifan ulama NU yang mempunyai banyak massa ini untuk menentukan mana yang bughat (pemberontak), mana yang Islami, dan mendapatkan dukungan masyarakat yang berada dibawah pengaruh NU. Padahal istilah waliyul amri hanya bisa disematkan pada penguasa yang menjalankan hukum dan ideologi Islam. Sedangkan pemerintahan Soekarno jelas jelas menisbatkan dirinya bukan sebagai negara Islam melainkan sebagai pemerintahan sekuler yang terinspirasi dari sekulerisme Kemal Attaturk di Turki.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang lalim. (QS:62:5)
Begitu rezim Soekarno tumbang muncullah rezim yang menamakan dirinya Orde Baru. Namun dalam prakteknya rezim ini juga sama dalam hal menindas rakyat. Dengan jargon kembali ke UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, rezim ini berhasil menipu seluruh rakyat Indonesia terutama umat Islam. Karena dalam kenyataannya bahkan sampai pemerintahan SBY pun gaya para aparatur pemerintah terutama kepolisian dan kejaksaan masih terlihat arogan dan menganggap kritikan masyarakat sebagai upaya permusuhan.
Dalam kasus cicak versus buaya, tampak aparatur negara dengan telanjang telah menunjukkan arogansinya. Mulai dari pemakaian istilah cicak versus buaya yang dilontarkan mantan Kabareskrim Susno Duadji dan istilah godzilla dari kejaksaan. Polisi tetap melakukan penahanan terhadap Bibit-Candra walaupun tim 8 sudah merekomendasikan kasus ditutup karena tak ada bukti. Mereka juga menolak pencabutan BAP pertama dari Ary Muladi dan Wiliardi Wizard, walaupun keduanya sudah menyatakan mencabut BAP mereka.
Polisi juga tak melakukan penahanan terhadap Aggodo padahal telah jelas bahwa dalam rekaman di MK dia berperan sebagai aktor intelektual kasus tersebut. Selain itu terdapat pula pernyataan Jaksa Agung tentang “bukti mutlak dan bukti kuat” dalam kasus Bibit-Candra. Akhirnya masyarakat banyak yang kebingungan dengan polemik ini, di mana semua pihak saling melempar statemen (yang dipenuhi dengan istilah-istilah hukum yang memusingkan), dan ditambah lagi sikap Presiden SBY yang pelit bicara untuk menanggapi kisruh ini. Semua hal di atas menunjukkan bahwa begitu kuatnya produk hukum mempengaruhi perilaku sebuah institusi, sehingga logika sehat pun bisa saja dicampakkan dengan enteng tanpa rasa dosa dan bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar